Mengantarkan
Anak Gila Membaca
Lingkungan
memberikan pengaruh yang besar bagi pembentukan budaya membaca kepada anak. Hal
ini kami dapatkan dari pengalaman langsung ketika mendidik keponakan kami.
Keponakan kami yang pertama adalah laki-laki ketika sekolah di Taman
Kanak-kanak belum begitu hafal dengan huruf alfabet sering terbalik-balik.
Begitu juga dari segi pengucapan dia agak kikuk dan cadel sehingga mengalami
kesulitan ketika mengucapkan hurug R dan S. Bahkan ketika sekolah di TK harus
mendapatkan bimbingan tambahan dari guru-gurunya untuk mengetahui huruf-huruf
alfabet.
Kondisi
tersebut tidak membuat putus asa dan memvonis bahwa dia tidak bisa. Kami
biarkan proses di sekolah tetap berjalan sesuai dengan program yang telah
ditetapkan. Sedangkan kami di rumah tetap optimis bahwa suatu nanti ketika
kesadaran belajarnya tersentuh dia akan mampu membaca. Sikap optimis ini kami
buktikan dengan semakin menambah koleksi buku maupun majalah anak-anak untuk
dilihat-lihat. Setiap hari keponakan kami yang bernama Rudin ini hanya
melihat-lihat gambarnya saja. Begitu juga dengan koran yang setiap hari
diantarkan loper koran juga dibuka-buka saja. Jika ada yang menarik, dia akan
bertanya apa isi dari majalah atau buku atau koran yang dibuka. Hanya satu
kalimat yang saya sampaikan ketika dia membuka koran, Mas, kalo Mas bisa
membaca, nanti lebih asyik lihat korannya”
Ketika
kelas satu SD dia sudah mulai bisa membaca per dua suku kata dan meraih
rangking 1 dari bawah. Kami berusaha dengan mengarahkannya saja tanpa memarahinya
karena kami yakin bahwa dia akan mampu berkembang secara optimal. Setelah satu
semester dia mulai bisa membaca meskipun masih sangat lambat dan belum tahu
makna dari yang dibaca. Hanya kebiasaan membuka aneka bahan bacaan tetap
dilakukan.
Menginjak
kelas 2 membacanya sudah mulai lancar maka kegiatan membuka majalahnya sudah
ditambah dengan membacanya meskipun hanya sedikit yang dibaca. Ini berjalan
terus secara kontinu seiringan dengan bertambahnya koleksi buku dan majalah di
perpustakaan kami. Setiap bulan setelah mendapatkan gaji bulanan selalu kami
alokasikan untuk membeli buku baik buku tentang keislaman, anak-anak, dan
motivasi. Penyediaan buku ini tidak harus mencari yang mahal. Kami biasanya
hunting ke Pasar Blauran, Kampung Ilmu Jalan Semarang, dan selalu mencari
informasi tentang pameran buku. Agar mendapatkan buku dengan harga miring
sehingga bisa mendapatkan buku yang banyak meskipun dana yang kami alokasikan
tidak terlalu besar. Tetapi jika ada buku yang kami inginkan dan harganya “lumayan
mahal” maka uangnya kami tabung dulu agar bisa membeli bukunya bulan depannya.
Bertambahnya
koleksi bahan bacaan kami ini membuat keponakan kami semakin bersemangat untuk
membaca. Bahkan saat ini dia sedang duduk di kelas 3, setiap hari selalu
membaca, mulai dari pulang sekolah sampai menjelang tidur malam. Dia hanya
berhenti membaca ketika mandi dan sholat saja. Ketika makan pun dia tetap
membaca buku. Bahkan ketika hari Sabtu malam Minggu , dia juga terus membaca
meskipun diberi waktu untuk menonton TV. Hal ini sangat menakjubkan bagi kami,
hampir setiap hari dia membaca buku mulai habis magrib sampai jam 10 malam.
Pagi hari pun ketika mau bangun tidur juga membaca. Kami merasakan bahwa dia
telah tersentuh titik belajarnya dan terbangun budaya membaca sehingga ketika
melihat buku apapun selalu dibaca. Buku-buku dari sepupu yang sekolah di SMP
maupun SMA juga dibaca. Tiada hari tanpa membaca sudah sangat tumbuh berkembang
di dalam dirinya sehingga mengalami peningkatan kecepatan membaca dan ranking
di kelasnya pun meningkat.
Jadi
membangun budaya membaca bagi anak-anak bisa kita mulai dengan membangun
lingkungan yang mendukung untuk membaca. Lingkungan yang mendukung membaca,
antara lain bisa dibangun dengan menyediakan beragam bacaan di rumah, memberikan
contoh aktivitas membaca, dan memberinya motivasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar